Orang
bilang, perpisahan yang paling menyakitkan adalah perpisahan yang tidak terucapkan. Entah aku setuju atau tidak
atas apa yang mereka bilang, tapi yang sekarang aku tahu, kemungkinan besar apa
yang mereka bilang itu benar.
-----------------
Sungguh, sore ini aku tidak ingin
melakukan hal apa pun selain bersantai dan bermalas-malasan. Rasanya aku sangat
lelah. Akhir-akhir ini banyak sekali pikiran yang masuk ke dalam otakku.
Yah..mulai dari yang masuk akal sampai yang tidak logis sekali pun tidak dapat
aku cegah. Kegiatan sekolahku akhir-akhir ini benar-benar sangat padat, bahkan
aku sampai tidak ingat apa yang telah aku lakukan satu mingu terakhir ini.
Belum lagi tugas-tugas dan rantaian ulangan harian yang tidak usah ditanya,
setiap harinya pasti akan selalu menemaniku. Keikutsertaanku dalam
ekstrakulikuler basket pun ternyata juga menyeretku ke dalam kesibukan. Latihan
rutin setiap sorenya sepulang sekolah, yang baru akhir-akhir ini aku sadari
ternyata itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Belum lagi
kegiatan-kegiatan OSIS yang tentu menyeret perananku sebagai anggota OSIS
harian sekolahku juga cukup menyita waktu, pikiran, dan tenaga. Pada akhirnya,
sore ini, sore pertama hari kebebasanku, aku ingin melepas lelah sejenak. Yah..
ini sudah pertengahan Bulan Desember dan semua orang tahu umat kristiani akan
merayakan hari besar, Hari Raya Natal. Untuk itulah sekolahku merelakan
murid-muridnya belajar di rumah, a.k.a libur.
Tetapi yang aku tahu ini bukan libur sungguhan. Tes Online, Tugas Hari Raya dan
tugas-tugas yang tidak penting lainnya tetap menjadi teman harianku selama
liburan ini. Belum lagi adanya Tes Diagnostik pada hari pertama aku masuk
sekolah nanti yang tentunya juga membutuhkan persiapan. Akan tetapi, sungguh
ini merupakan keajaiban, sekolah meliburkan murid-muridnya selama seminggu. Ini
keajaiban! Sekolahku
terkenal pelit dengan liburan.
Aku sudah menyiapkan secangkir teh
panas dan camilan seadanya untuk menemaniku sore ini. Aku duduk di tempat
favoritku, suatu tempat yang terletak di belakang rumahku, di bawah pohon
teduh, di samping kolam renang dan air mancur, juga dikelilingi bermacam bunga
yang bermekaran. Dapatkah kau membayangkan bagaimana suasana di sini? Yah, tenang,
damai, sejuk, penuh inspirasi, oh.. bagaimana aku bisa mengungkapkannya? Ini
luar biasa. Benar-benar luar biasa. Aku biasa datang kemari jika sedang merasa
penat. Suara air mengalir itu menenangkan bagiku, entah mengapa. Warna-warni
bunga itu dapat menghiburku oleh pesonanya. Birunya air kolam renang itu
membuatku merasa damai. Semilir angin yang berhembus menyejukkan pikiran. Jika
sedang beruntung aku bisa melihat matahari tenggelam di ufuk barat, indah
sekali. Entah bagaimana kedua orang tuaku bisa menata semua ini sedemekian rupa
di tengah-tengah kesibukan mereka sehingga hasilnya benar-benar luar biasa
bagiku.
Sambil meneguk teh hangat aku
menekan tombol power pada laptop kesayanganku. Aku memang berenca sore ini aku
akan bersantai sambil online. Entah sudah berapa lama aku menghilang dari
peradaban, dan aku ingin sore ini aku kembali. Ku buka website twitter,
facebook, tumblr, ah ya, tak lupa blogger. Aku sangat merindukan teman-teman
pena ku. Aku hanya menyusuri home
pada facebook dan timeline
pada twitter, juga mengcek beberapa blog milik
temanku. Di tengah-tengah itu, getaran meja di sebelah kananku mengejutkanku,
ponselku rupanya, pertanda ada SMS masuk, dari Tante Ria.
Assalamualaikum, Rindu.
Sedang liburan natal, kan? Gak main ke Bandung? Nanti Tante Ria usahain nemuin Bintang deh, besok juga
kan dia berulang tahun. Jakarta-Bandung kan dekat. Kamu juga sudah berapa lama
gak ketemu dia, kan? Kamu pasti
kangen deh, Salam
buat bunda ya, Teh.
Bilang kalau mau liburan ke Bandung sudah tante siapkan kamarnya. Wassalam.
Bintang? Bintang ulang tahun? Emangnya besok
tangal 20 Desember yah?
Aku
mengecek tanggal dalam ponselku. 19 Desember 2000. Astaga, aku bahkan sampai
tidak sadar besok bocah itu berulang tahun. Bocah? Apa masih pantas aku
menyebutnya bocah? Bintang. Bintang. Apa kabar ya dia sekarang? Sudah berapa
lama aku tidak berhubungan dengannya? Bertahun-tahun, mungkin. Bahkan aku lupa
akan berusia berapa dia esok hari. Bintang. Bintang. Bintang. Ah..entah
perasaan apa yang muncul dalam diriku jika aku menyebut namanya. Rasanya
seperti menyeberangi pelangi lalu duduk di atas awan, tetapi hempasan ombak
pantai dan getaran bumi akibat kegiatan magma di dalamnya terasa. Aneh bukan?
Memang begitu. Aku berkhayal, lagi. Yang aku tau seperti itu perasaannya.
Benar-benar tidak dapat diungkapkan. Sama sekali tidak dapat.
Apakah saat ini dia masih mengingatku?
Astaga,
aku dan bintang tentu saja masih mempunyai hubungan darah. Sudah seharusnya
tidak ada kata ‘lupa’ yang hadir di antara kita. Tapi, entahlah. Kemungkinan
besar dia telah melupakanku, atau kemungkinan kecil dia masih mengingatku dalam
tidurnya. Kemungkinan lain hanya aku
saja yang tidak siap menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Seingatku,
terakhir kali aku berbicara dengannya yaitu saat aku berusia 12 tahun,
sedangkan ia berusia 10 tahun. Entahlah, ingatan itu samar-samar. Sudah berlalu
selama dua tahun dan aku memang selalu berusaha untuk tidak mengingat-ingat
semua itu, semua yang berhubungan dengan aku dan Bintang. Menyakitkan. Sungguh.
Bagaimana bisa tidak menyakitkan? Mengenang semua hal itu sementara aku tahu
semua kejadian itu tidak akan pernah terulang. Ini cocok sekali dengan quote pada timeline yang
sedang aku baca saat ini,
KataBijak: Masa lalu memang penuh dengan luka dan
bahagia. Tetapi tidak dapat dipungkiri mengenang masa lalu itu.....menyakitkan.
Menyesakkan dada #katabijak
Seperti
itulah. Memang benar-benar menyakitkan mengenang masa lalu, terutama masa lalu
ku dengan Bintang, tetapi aku memang tidak ada niat untuk melupakannya. Dulu,
aku memang pernah berniat seperti itu, tetapi salah satu sahabatku
menyadarkanku. Aku ingat bagaimana aku mengeluh tentang bagaimana cara
melupakan masa lalu kepadanya dan bagaimana ia meresponnya.
“Masa
lalu kok dilupain? Masa lalu tuh jangan dilupain, Rin.”
“Kenapa?”
refleks aku bertanya alasannya.
“Hmm..istilahnya
gimana ya? Masa lalu itu seharusnya dijadikan sebagai pembanding. Kalau kita ngelupain masa lalu, kita gak akan punya pembanding. Maksudnya,
kalau masa lalu kita buruk kita gak
bisa belajar dari itu. Jadi kita gak
akan bisa bandingin kekurangan kita
saat ini sama dulu. Kalau udah gitu,
gimana caranya kita bisa jadi orang yang lebih baik?”
Kurang
lebih seperti itulah respon Raka. Hm, terdengar bijak? Mungkin, tapi yang jelas
responnya membuatku membatalkan rencana awal, melupakan semua itu. Bagiku apa
yang dia katakan itu benar. Aku juga jadi ingat bagaimana respon sahabatku yang
lain saat aku mengeluh padanya.
“Masa
lalu tuh jangan dilupain, yang sekarang dijalanin,
kalo masa depan tuh dipikirin.”
Kalau
itu seingatku Dhimas yang memberitahuku. Sayangnya,
saat aku tanya mengapa dia tidak meresponnya kembali. Tapi apa yang dia bilang
itu menurutku juga masuk akal.
Aku dan Bintang bersaudara. Dekat,
amat-sangat dekat meski kami bukan saudara satu kandungan. Kedekatan itu
berawal sejak betapa seringnya aku dititipkan di keluarganya. Ayah Bintang dan
Bunda bersaudara, Bunda sering menitipkan aku pada Uwa’ Ayah, begitu aku memanggilnya. Pada saat itu aku merasa jenuh
mengikuti ayah dan bunda
yang sering pindah tugas dalam waktu singkat, sementara aku masih seorang anak
kecil yang sangat sulit untuk beradaptasi. Akhirnya, aku memilih untuk ikut
bersama Uwa’ Ayah dan Uwa’
Ibu di Bandung. Tidak butuh waktu yang lama untuk benar-benar dekat
dengan saudara sepupuku itu. Aku dan Bintang berselisih usia dua tahun, aku yang lebih tua. Kami bersekolah di
sekolah yang sama.
Saat masih kecil, aku dan Bintang
sangat suka memanjat pohon di belakang rumah, memetiki buah dan menyelamatkan
sarang burung menjadi salah satu kegiatan yang biasa kami lakukan. Kalau sudah
begitu, yang ada dalam ingatanku saat ini hanya satu, teriakan Uwa’ Ibu yang selalu menegurku karena pecicilan. Dulu, aku dan Bintang selalu
berlomba menabung dalam celengan yang seingatku dibelikan oleh Teh Keke, kakak Bintang. Setiap akhir
bulan seluruh tabungan kami Teh Keke hitung dan yang jumlahnya lebih banyak
harus memberikan-sesuatu-istimewa kepada lawan mainnya. Entah bagaimana dia
selalu bisa memenangkan lomba itu. mungkin aku memang harus banyak-banyak
belajar darinya dalam hal menghemat uang.
Aku jadi ingat. Setiap akhir pekan Uwa' Ayah selalu mengajak aku dan
Bintang pergi ke salah satu Plaza terdekat. kalau sudah begitu, satu-satunya
tempat yang langsung kami tuju adalah Timezone. Ini merupakan tempat favorit
kami, Bintang yang membuatku menyukai tempat ini. Kalau lagi jenuh, biasanya
tanpa ba-bi-bu lagi Bintang akan
langsung mengajakku ke Timezone, dan aku pasti akan terhibur. Begitu juga dia,
aku akan langsung menariknya untuk pergi ke Timezone jika ia sedang jenuh,
bagaimana pun caranya. Aku dan Bintang bahkan pernah jalan kaki menuju ke sana.
Entah bagaimana caranya tetapi aku sangat menikmati saat-saat bersama Bintang.
Wahana permainan apa pun yang kami mainkan, kami selalu menikmatinya. Astaga,
sudah selama berapa tahun aku tidak pernah merasakan hangatnya kebersamaanku
dengannya? Kalau boleh memilih, aku sangat ingin mengulangnya kembali. Sangat
ingin.
Pepatah: Bukan kenangan buruk yang membuat sedih,
tetapi kenangan indah yang kamu tahu tidak akan pernah terjadi untuk kedua
kalinya #pepatah
Biasanya,
sepulang sekolah, kami akan menceritakan semua hal yang masing-masing dari kami
telah lakukan pada hari itu di sekolah. Penting atau tidak penting bagiku dan
Bintang yang terpenting adalah saling berbagi.
Kami sudah berjanji akan hal itu. Percaya ataupun tidak, Bintang yang
mengatakan itu padaku.
“Rindu,
kamu tuh bisa cerita apa aja kok sama aku. Yakin deh. Segalanya. Gak mungkin Bintang gak dengerin Rindu. Mau Rindu teh cerita yang gak penting, cerita yang penting, cerita yang konyol, yang penting
Rindu bisa berbagi sama Bintang. Bintang bersedia kok jadi pendengar yang baik
buat Rindu. Kita itu saudara, Rin. Harus saling berbagi, dong! Bintang juga akan begitu. Janji?”
Huh,
dewasa sekali bukan? Nyaris saja aku menitikkan air mata. Kata-kata Bintang
pada saat itu terlintas di pikiranku begitu saja. Aku rindu suara lugunya. Bagaimana
itu bisa terjadi? Aku berusia lebih tua daripada dia, tetapi mengapa bisa dia
sebegitu tuanya? Lucu memang. Tidak bisa aku pungkiri Bintang adalah seorang
anak jenius. Otaknya benar-benar brilian. Menurutku, IQ-nya terlalu tinggi
untuk anak seumuran dia. Bagaimana mungkin dia bisa menyabet juara pertama di
segala bidang olimpiade akdemik, terkecuali IPS? Bintang memang membenci
pelajaran IPS, sama sepertiku. Menurut kami, menghapal dan memahami semua
materi IPS bagaikan neraka. Setahuku, di kalangannya, Bintang mendapatkan
julukan ‘Esiklopedia Berjalan’, dia yang menceritakan
hal itu padaku. Aku akui dia memang kutu buku sejati yang pernah aku temui. Entah
sudah berapa ratusan, bahkan mungkin ribuan buku yang telah ia lahap. Tiada hari
baginya tanpa membaca buku. Setidaknya paling sedikit 3 buku yang bisa ia lahap
setiap harinya. Aku selalu heran bagaimana mungkin ia selalu bisa menjalani
hidupnya seperti itu tanpa bosan? Sampai saat ini pun aku masih belum
mendapatkan jawabannya. Aku sangat suka berlama-lama di kamarnya, melakukan hal
apa pun yang bisa aku lakukan. Aku tidak tahu sebaiknya aku menyebut ruangan
itu kamar tidur atau peprusatakaan. Kalau kau masuk ke dalamnya, ke mana pun
kau pergi pasti kau akan selalu menemukan buku, buku, dan selalu buku. Seluruh
penjuru di kamar itu adalah sarang buku.
Jika aku sedang merasa jenuh atau
bosan, entah bagaimana Bintang selalu mengetahuinya, itu sudah pasti. Tiba-tiba
saja ia datang menghampiriku dengan senyum yang menenangkan dan....mempesona. Aku
sangat menyukai senyumannya. Terlihat tulus, meski menurutku tatapannya memang
sedikit dingin. Setelah itu, hal yang biasa ia lakukan adalah menyapaku dan
bertanya apa-yang-telah-terjadi padaku. Melihat senyumannya yang menenangkan
dan mendengar pertanyaannya yang terdengar tulus, rasanya aku memang tidak bisa
merahasiakan sesuatu darinya. Memalukan. Lagi-lagi terdengar memalukan, bukan? Aku
lebih tua darinya, namun kenyataannya justru aku lah yang selalu mendapat
omelan dan nasihat-nasihat apa pun darinya. Selama ini aku belum pernah melihat
Bintang murung apalagi menangis. Mungkin saja ia pernah, dan pastinya pernah, hanya
saja aku tidak tahu, tapi ku rasa kalau pun dia pernah melakukannya, hal itu
adalah hal yang amat-sangat jarang dia lakukan, nyaris tidak pernah mungkin.
"Gimana sih,
pagi-pagi udah murung? Heeei, pagi
ini indah dan hari ini pasti juga akan indah, Rin. Gak usah lah kamu pake acara murung kayak gitu."
"Kalau ada teman
kamu yang ngejekin kamu di sekolah, ya diemin
aja, gak usah diladenin. Nanti
pasti juga capek sendiri. Lagian
kejahatan gak boleh dibalas kejahatan
juga, kan?"
"Kamu kurang bersyukur, Rin. Coba deh,
nikmat Allah yang mana lagi yang masih kamu raguin?
Masih banyak orang-orang yang bahkan gak seberuntung kamu.”
“Kok
nangis sih, Rin? Sedih? Nangis aja kalau itu bisa bikin kamu sedikit
lega, tapi aku punya satu cara nih.
Kalau kamu mau nangis, lebih enak kalau
lagi hujan. Kamu bisa nangis sambil hujan-hujanan, dengan begitu gak akan ada yang tahu kalau kamu lagi
nangis, lagi sedih.”
“Mimpi harus digantungin setinggi langit. Aku suka
melihat bintang-bintang itu, Rin. Rasanya seperti mendapatkan tanda bahwa aku
punya berjuta-juta kesempatan untuk dapat meraih mimpiku di atas sana.”
“Kamu kalah lagi, RIn! Hahahaha. Makanya, kalau punya
uang banyak ditabung, dong! Kalau
tabungannya banyak, kita pasti bisa main di Timezone sepuasnya!”
Tidak.
Tidak. Aku tidak kuat. Tepat saat ini, akhirnya aku menitikkan air mata. Semua
itu terlintas kembali di pikiranku begitu saja. Aku sangat merindukan semua
kata-kata bijaknya, yang entah mengapa masuk akal ataupun tidak pasti selalu
mampu memperbaiki keadaan. Aku rindu senyum
dan tawa kemenangan Bintang,
senyum terbaik seorang anak laki-laki yang pernah aku lihat. Aku rindu tawanya
yang lebih terdengar seperti orang cegukan, unik. Apakah saat ini dia masih seperti itu jika sedang tertawa? Aku
rindu sorot matanya jika menatapku. Aku merindukan kehadirannya saat aku sedang butuh seseorang seperti dia.
Aku merindukan cara dia untuk meghiburku.
Aku rindu Bintang.
Sungguh, aku memang Rindu. Semua kenangan itu...benar-benar menyiksaku. Aku
kembali mengingat semua itu, merindukannya, berharap dapat mengulang semua itu
kembali, sementara aku tahu pasti semua itu hanya harapan yang tidak akan
pernah terwujud.
Ku usap air mataku dan meneguk teh
ku kembali. Kau tahu bukan merindukan sesorang itu merupakan penyiksaan? Kalau
kau pernah merindukan seseorang aku yakin kau pasti mengetahuinya.
Aisyah Shafa: Satu senyum bisa menyembunyikan
berjuta-juta kesedihan.
Senyum
palsu? Aku pernah melihatnya. Semua berawal dari
senyum palsu itu. Semua berubah sejak malam itu. Saat itu, ketika aku
menghampiri Bintang di kamarnya, raut mukanya tidak terlihat seperti biasanya
meski seperti biasa ia langsung tersenyum padaku saat aku memasuki kamarnya.
Aku tahu ada yang tidak beres darinya. Aku tahu dia tidak sedang baik-baik saja
meskipun sedang menikmati buku yang ia baca. Aku tidak berani menanyakan
apa-yang-terjadi-padanya seperti halnya yang ia lakukan, maka seperti biasa aku
hanya berbaring di ranjangnya sambil menatap langit-langit kamar. Menjelang
tengah malam Bintang belum juga beranjak dari tempat ia membaca. Aku memutuskan
untuk keluar dari kamarnya, meninggalkan ia sendirian, mungkin ia butuh
ketenangan. Dia sedang sedih, juga sedang memikirkan sesuatu. Entah apa, aku
tidak mengetahuinya. Tak lama setelah itu akhirnya aku bisa mengira-ngira apa penyebabnya. Saat aku berjalan
dari kamar Bintang untuk menuju ke kamarku, aku mendengar suara, suara yang
tidak asing tentu saja. Tidak ada niat untuk mencari sumber suara, tetapi yang
aku tahu suara itu berasal dari kamar di sebelah kamar Teh Keke, kamar utama. Bentakan. Tangisan.
Saat itu juga aku mengetahui bahwa mereka sedang bertengkar. Aku
tidak ingin ketahuan kalau aku masih terjaga, karena aku tidak ingin dikira
ikut campur masalah orang dewasa. Saat itulah malam pertama aku kehilangan
senyum tulus Bintang, karena setelah itu
ia berterus-terus menyembunyikan kesedihannya dengan senyuman palsunya. Aku
benci itu.
Bagaimana kami berpisah itu
merupakan sebuah misteri bagiku. Saat aku.. kira-kira berusia sekitar 8 tahun, bunda mengajakku pindah dari Bandung dan
kembali ke Jakarta. Saat itu bunda memberitahuku ayah tidak akan sering pindah tugas dan
pekerjaannya akan menetap di Jakarta. Aku yang masih anak bawang hanya bisa
menurut. Entah aku berpikir apa pada saat itu, yang jelas aku sama sekali tidak
memikirkan bagaimana aku dan Bintang nantinya. Bagiku Bintang sudah berubah,
aku pun berat menyebut dirinya yang saat itu sebagai
soulmate-ku.
Aku hanya berpikir hubunganku dengan Bintang pasti akan berjalan sebagaimana
mestinya saudara sepupu, seperti biasanya, maka aku mengiyakan tawaran bunda. Setelah
bunda selesai mengurus seluruh urusan sekolah, aku meninggalkan Bandung,
keluarga Bintang, dan juga Bintang. Hal yang
aku tahu setelah itu adalah keluarga Bintang bermasalah, tapi saat itu aku
masih seorang anak kecil yang memang tidak mengerti apa-apa. Aku hanya mengira
masalah itu akan selesai dalam waktu singkat.
TeenQuotes: Relationships are like glass. Sometimes
it better to leave them broken than try to hurt yourself putting it back
together #teenquotes
Strike! Quote itu benar. Aku salah besar. Hal
yang aku ketahui selanjutnya adalah, orang tua Bintang bercerai. Saat aku
mengetahui berita itu, aku masih juga belum mengerti apa-apa. Aku pikir semua
berjalan baik-baik saja sebagaimana mestinya. Bodoh. Sampai akhirnya aku
mengetahui kabar bahwa Bintang, Teh Keke dan Uwa’ Ibu pindah ke Cirebon. Barulah saat itu aku berpikir bahwa
semua tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sampai saat ini, aku benar-benar
tidak pernah berhubungan lagi dengan Bintang. Dia hilang begitu saja, hilang bagaikan ditelan bumi. Dia menghilang tanpa
mengucapkan kata perpisahan. Siapa yang sangka kedekatan kita dulu akan
berakhir seperti ini? Aku tahu Bintang menyembunyikan banyak hal dariku,
terutama kesedihannya, selalu. Sampai saat ini aku berharap dia akan berbagi kesedihan padaku, seperti janji
kami pada saat kami kecil. Ataukah aku hanya berharap terlalu lebih? Mungkin
saja ia bahkan telah melupakan janji itu.
Teh hangatku telah habis, seperti
harapanku untuk dapat bertemu kembali dengan Bintang. Berusaha? Tentu saja aku
telah mencoba dan berusaha untuk dapat mengetahui kabarnya dan menemuinya.
Seperti halnya kira-kira satu tahun yang lalu. Keluargaku, keluarga Tante Ria
serta keluarga Om Hamid mengunjungi Bandung untuk berlibur. Niat untuk
mengunjungi keluarga Bintang di Cirebon sama sekali tidak terpikirkan sampai
akhirnya Om Hamid menawarkan kami. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaanku
saat itu, yang aku ingat hanyalah aku merasa sedikit takut. Bagaimana tidak?
Dapat dipastikan jika bertemu dengan Bintang kami pasti merasa canggung, tidak
akan ada lagi teriakan namaku dari mulutnya apa lagi pelukan darinya secara
tiba-tiba. Perasaan rindu itu tidak terkalahkan, akhirnya kami menuju Cirebon
untuk menemui Bintang. Tentu saja harapanku hanya satu, bertemu kembali dengan
Bintang, dan aku menggantungkan harapan itu setinggi mungkin.
Aku terjatuh, sakit sekali. Sangat.
Bagaimana tidak? Harapan yang aku gantungkan tidak tercapai. Rasanya seperti
dilambungkan ke atas langit namun dijatuhkan kembali ke bumi. Bintang dan Teh Keke sedang pergi ketika kami
berkunjung ke sana. Begitu pula Uwa’
Ibu. Hanya ada pembantu rumah tangga mereka yang
berada di rumah. Menyedihkan memang. Menunggu adalah hal yang paling aku benci,
tapi aku melakukannya. Yah..aku menunggu, kami tepatnya, kami menunggu mereka
kembali selama beberapa saat. Ketika aku berjalan mengelilingi rumahnya, aku
menemukan buku telepon dan aku menemukan nomor ponsel Bintang di sana. Tentu
saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, langsung saja aku mencoba
menghubungi Bintang dan....tersambung.
“Halo.”
Diangkat!
Bahagia rasanya. Terdengar berlebihan memang, tapi itulah yang aku rasakan. Saat itu aku tidak langsung menjawab
sapaannya. Aku sempat terheran-heran, siapa sebenarnya yang ada di seberang
sana? Suaranya begitu berbeda? Tidak terdengar seperti suara Bintang.
Aku tidak percaya. Suaranya terdengar sangat berbeda, tegas dan berat. Astaga,
sudah berapa lama aku tidak pernah mendengarkan suara Bintang? Perasaanku
campur aduk pada saat itu, benar-benar tidak bisa dijelaskan, dan aku memang
tidak bisa berkata apa-apa.
“Halo.”
Orang yang terdengar asing di seberang sana mengulang sapaannya, mungkin karena
aku tidak menjawab.
“Halo.
Bintang?” refleks aku segara menjawabnya dengan sebuah
pertanyaan.
-tut-tut-tut-
Kau
tahu apa yang terjadi setelah itu? Hal yang terjadi setelah itu adalah
sambungan teleponnya terputus. Ups, terputus? Diputus tepatnya. Bintang menutup
teleponnya setelah mendengar aku berbicara. Aku bisa memastikan suaraku saat
itu tidak berubah. Aku bisa memastikan Bintang tahu bahwa aku yang menjadi lawan
bebricaranya. Bagaimana mungkin ia bisa menutup teleponnya? Sampai saat ini itu
merupakan misteri. Yang aku ingat perasaanku saat itu kosong, dadaku sesak.
Rasanya kosong, mengetahui Bintang menutup teleponnya setelah aku berbicara.
Menyakitkan mengetahui bahwa ia memang tidak ingin berbicara denganku lagi.
Penantian kami sia-sia, mereka tidak juga pulang dan kami memutuskan untuk
kembali ke Bandung. Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang mengetahui
bahwa aku menangis. Sakit.
nailarhm: The most painful goodbyes are the ones
never said, but heart already know it’s over.
Aku menghela nafas panjang. Matahari
sudah mulai tenggelam. Aku mematikan laptopku dan kembali ke dalam rumah. Besok
Bintang berulang tahun, yang aku tidak tahu ke berapa. Menceritakan semua hal
tentang aku dan Bintang tidak akan ada habisnya. Aku yakin akan hal itu. Aku kapok berusaha menghubunginya. Aku lelah
menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak sesuai dengan yang aku inginkan.
Mengingat tawaran Tante Ria, aku memang akan menyampaikannya pada bunda, tetapi tidak untuk menerima tawarannya.
Aku lelah. Sudah cukup banyak yang membuatku merasa lelah dan aku tidak ingin
pikiran tentang Bintang menambah itu semua. Kenangan yang...nano-nano. Aaaah..semua itu benar-benar
tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Aku
merindukan Bintang. Amat-sangat merindukannya. Perpisahan yang misterius bukan?
Perpisahan yang tidak disadari oleh aku maupun dia. Tanpa sengaja tiba-tiba saja terbangun tembok yang tebal, kokoh, tinggi dan
akan bertambah seiring berjalannya waktu yang hadir di antara kita. Sulit untuk
ditembus. Sangat. Aku sadar akan hal itu. Aku merindukan kenangan yang aku dan
Bintang miliki, tetapi aku disadarkan oleh kenyataan yang benar-benar jauh dari
harapan. Aku tidak akan pernah melupakan Bintang, tidak akan. Tidak peduli
apakah ia masih mengingatku atapun tidak, yang terpenting adalah aku akan
selalu mengingatnya, Bintang akan tetap menjadi bintang yang bersinar di sini,
di dalam diri Rindu meski dalam rindu yang tidak
akan ada habisnya.
viatumblr: Even when you’ll forget, I’ll
always remember. I’ll be the keeper of our memories. #viatumblr
----------------