Pages

Monday, September 12, 2011

Bintang Dalam Kenangan

Orang bilang, perpisahan yang paling menyakitkan adalah perpisahan yang tidak terucapkan. Entah aku setuju atau tidak atas apa yang mereka bilang, tapi yang sekarang aku tahu, kemungkinan besar apa yang mereka bilang itu benar.
-----------------
            Sungguh, sore ini aku tidak ingin melakukan hal apa pun selain bersantai dan bermalas-malasan. Rasanya aku sangat lelah. Akhir-akhir ini banyak sekali pikiran yang masuk ke dalam otakku. Yah..mulai dari yang masuk akal sampai yang tidak logis sekali pun tidak dapat aku cegah. Kegiatan sekolahku akhir-akhir ini benar-benar sangat padat, bahkan aku sampai tidak ingat apa yang telah aku lakukan satu mingu terakhir ini. Belum lagi tugas-tugas dan rantaian ulangan harian yang tidak usah ditanya, setiap harinya pasti akan selalu menemaniku. Keikutsertaanku dalam ekstrakulikuler basket pun ternyata juga menyeretku ke dalam kesibukan. Latihan rutin setiap sorenya sepulang sekolah, yang baru akhir-akhir ini aku sadari ternyata itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Belum lagi kegiatan-kegiatan OSIS yang tentu menyeret perananku sebagai anggota OSIS harian sekolahku juga cukup menyita waktu, pikiran, dan tenaga. Pada akhirnya, sore ini, sore pertama hari kebebasanku, aku ingin melepas lelah sejenak. Yah.. ini sudah pertengahan Bulan Desember dan semua orang tahu umat kristiani akan merayakan hari besar, Hari Raya Natal. Untuk itulah sekolahku merelakan murid-muridnya belajar di rumah, a.k.a libur. Tetapi yang aku tahu ini bukan libur sungguhan. Tes Online, Tugas Hari Raya dan tugas-tugas yang tidak penting lainnya tetap menjadi teman harianku selama liburan ini. Belum lagi adanya Tes Diagnostik pada hari pertama aku masuk sekolah nanti yang tentunya juga membutuhkan persiapan. Akan tetapi, sungguh ini merupakan keajaiban, sekolah meliburkan murid-muridnya selama seminggu. Ini keajaiban! Sekolahku terkenal pelit dengan liburan.
            Aku sudah menyiapkan secangkir teh panas dan camilan seadanya untuk menemaniku sore ini. Aku duduk di tempat favoritku, suatu tempat yang terletak di belakang rumahku, di bawah pohon teduh, di samping kolam renang dan air mancur, juga dikelilingi bermacam bunga yang bermekaran. Dapatkah kau membayangkan bagaimana suasana di sini? Yah, tenang, damai, sejuk, penuh inspirasi, oh.. bagaimana aku bisa mengungkapkannya? Ini luar biasa. Benar-benar luar biasa. Aku biasa datang kemari jika sedang merasa penat. Suara air mengalir itu menenangkan bagiku, entah mengapa. Warna-warni bunga itu dapat menghiburku oleh pesonanya. Birunya air kolam renang itu membuatku merasa damai. Semilir angin yang berhembus menyejukkan pikiran. Jika sedang beruntung aku bisa melihat matahari tenggelam di ufuk barat, indah sekali. Entah bagaimana kedua orang tuaku bisa menata semua ini sedemekian rupa di tengah-tengah kesibukan mereka sehingga hasilnya benar-benar luar biasa bagiku.
            Sambil meneguk teh hangat aku menekan tombol power pada laptop kesayanganku. Aku memang berenca sore ini aku akan bersantai sambil online. Entah sudah berapa lama aku menghilang dari peradaban, dan aku ingin sore ini aku kembali. Ku buka website twitter, facebook, tumblr, ah ya, tak lupa blogger. Aku sangat merindukan teman-teman pena ku. Aku hanya menyusuri home pada facebook dan timeline pada twitter, juga mengcek beberapa blog milik temanku. Di tengah-tengah itu, getaran meja di sebelah kananku mengejutkanku, ponselku rupanya, pertanda ada SMS masuk, dari Tante Ria.
Assalamualaikum, Rindu. Sedang liburan natal, kan? Gak main ke Bandung? Nanti Tante Ria usahain nemuin Bintang deh, besok juga kan dia berulang tahun. Jakarta-Bandung kan dekat. Kamu juga sudah berapa lama gak ketemu dia, kan? Kamu pasti kangen deh, Salam buat bunda ya, Teh. Bilang kalau mau liburan ke Bandung sudah tante siapkan kamarnya. Wassalam.
Bintang? Bintang ulang tahun? Emangnya besok tangal 20 Desember yah?
Aku mengecek tanggal dalam ponselku. 19 Desember 2000. Astaga, aku bahkan sampai tidak sadar besok bocah itu berulang tahun. Bocah? Apa masih pantas aku menyebutnya bocah? Bintang. Bintang. Apa kabar ya dia sekarang? Sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengannya? Bertahun-tahun, mungkin. Bahkan aku lupa akan berusia berapa dia esok hari. Bintang. Bintang. Bintang. Ah..entah perasaan apa yang muncul dalam diriku jika aku menyebut namanya. Rasanya seperti menyeberangi pelangi lalu duduk di atas awan, tetapi hempasan ombak pantai dan getaran bumi akibat kegiatan magma di dalamnya terasa. Aneh bukan? Memang begitu. Aku berkhayal, lagi. Yang aku tau seperti itu perasaannya. Benar-benar tidak dapat diungkapkan. Sama sekali tidak dapat.
Apakah saat ini dia masih mengingatku?
Astaga, aku dan bintang tentu saja masih mempunyai hubungan darah. Sudah seharusnya tidak ada kata ‘lupa’ yang hadir di antara kita. Tapi, entahlah. Kemungkinan besar dia telah melupakanku, atau kemungkinan kecil dia masih mengingatku dalam tidurnya.  Kemungkinan lain hanya aku saja yang tidak siap menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Seingatku, terakhir kali aku berbicara dengannya yaitu saat aku berusia 12 tahun, sedangkan ia berusia 10 tahun. Entahlah, ingatan itu samar-samar. Sudah berlalu selama dua tahun dan aku memang selalu berusaha untuk tidak mengingat-ingat semua itu, semua yang berhubungan dengan aku dan Bintang. Menyakitkan. Sungguh. Bagaimana bisa tidak menyakitkan? Mengenang semua hal itu sementara aku tahu semua kejadian itu tidak akan pernah terulang. Ini cocok sekali dengan quote pada timeline yang sedang aku baca saat ini,
KataBijak: Masa lalu memang penuh dengan luka dan bahagia. Tetapi tidak dapat dipungkiri mengenang masa lalu itu.....menyakitkan. Menyesakkan dada #katabijak
Seperti itulah. Memang benar-benar menyakitkan mengenang masa lalu, terutama masa lalu ku dengan Bintang, tetapi aku memang tidak ada niat untuk melupakannya. Dulu, aku memang pernah berniat seperti itu, tetapi salah satu sahabatku menyadarkanku. Aku ingat bagaimana aku mengeluh tentang bagaimana cara melupakan masa lalu kepadanya dan bagaimana ia meresponnya.
“Masa lalu kok dilupain? Masa lalu tuh jangan dilupain, Rin.”
“Kenapa?” refleks aku bertanya alasannya.
“Hmm..istilahnya gimana ya? Masa lalu itu seharusnya dijadikan sebagai pembanding. Kalau kita ngelupain masa lalu, kita gak akan punya pembanding. Maksudnya, kalau masa lalu kita buruk kita gak bisa belajar dari itu. Jadi kita gak akan bisa bandingin kekurangan kita saat ini sama dulu. Kalau udah gitu, gimana caranya kita bisa jadi orang yang lebih baik?”
Kurang lebih seperti itulah respon Raka. Hm, terdengar bijak? Mungkin, tapi yang jelas responnya membuatku membatalkan rencana awal, melupakan semua itu. Bagiku apa yang dia katakan itu benar. Aku juga jadi ingat bagaimana respon sahabatku yang lain saat aku mengeluh padanya.
“Masa lalu tuh jangan dilupain, yang sekarang dijalanin, kalo masa depan tuh dipikirin.”
Kalau itu seingatku Dhimas yang memberitahuku. Sayangnya, saat aku tanya mengapa dia tidak meresponnya kembali. Tapi apa yang dia bilang itu menurutku juga masuk akal.
            Aku dan Bintang bersaudara. Dekat, amat-sangat dekat meski kami bukan saudara satu kandungan. Kedekatan itu berawal sejak betapa seringnya aku dititipkan di keluarganya. Ayah Bintang dan Bunda bersaudara, Bunda sering menitipkan aku pada Uwa’ Ayah, begitu aku memanggilnya. Pada saat itu aku merasa jenuh mengikuti ayah dan bunda yang sering pindah tugas dalam waktu singkat, sementara aku masih seorang anak kecil yang sangat sulit untuk beradaptasi. Akhirnya, aku memilih untuk ikut bersama Uwa’ Ayah dan Uwa’ Ibu di Bandung. Tidak butuh waktu yang lama untuk benar-benar dekat dengan saudara sepupuku itu. Aku dan Bintang berselisih usia dua tahun, aku yang lebih tua. Kami bersekolah di sekolah yang sama.
            Saat masih kecil, aku dan Bintang sangat suka memanjat pohon di belakang rumah, memetiki buah dan menyelamatkan sarang burung menjadi salah satu kegiatan yang biasa kami lakukan. Kalau sudah begitu, yang ada dalam ingatanku saat ini hanya satu, teriakan Uwa’ Ibu yang selalu menegurku karena pecicilan. Dulu, aku dan Bintang selalu berlomba menabung dalam celengan yang seingatku dibelikan oleh Teh Keke, kakak Bintang. Setiap akhir bulan seluruh tabungan kami Teh Keke hitung dan yang jumlahnya lebih banyak harus memberikan-sesuatu-istimewa kepada lawan mainnya. Entah bagaimana dia selalu bisa memenangkan lomba itu. mungkin aku memang harus banyak-banyak belajar darinya dalam hal menghemat uang.
            Aku jadi ingat. Setiap akhir pekan Uwa' Ayah selalu mengajak aku dan Bintang pergi ke salah satu Plaza terdekat. kalau sudah begitu, satu-satunya tempat yang langsung kami tuju adalah Timezone. Ini merupakan tempat favorit kami, Bintang yang membuatku menyukai tempat ini. Kalau lagi jenuh, biasanya tanpa ba-bi-bu lagi Bintang akan langsung mengajakku ke Timezone, dan aku pasti akan terhibur. Begitu juga dia, aku akan langsung menariknya untuk pergi ke Timezone jika ia sedang jenuh, bagaimana pun caranya. Aku dan Bintang bahkan pernah jalan kaki menuju ke sana. Entah bagaimana caranya tetapi aku sangat menikmati saat-saat bersama Bintang. Wahana permainan apa pun yang kami mainkan, kami selalu menikmatinya. Astaga, sudah selama berapa tahun aku tidak pernah merasakan hangatnya kebersamaanku dengannya? Kalau boleh memilih, aku sangat ingin mengulangnya kembali. Sangat ingin.
Pepatah: Bukan kenangan buruk yang membuat sedih, tetapi kenangan indah yang kamu tahu tidak akan pernah terjadi untuk kedua kalinya #pepatah
Biasanya, sepulang sekolah, kami akan menceritakan semua hal yang masing-masing dari kami telah lakukan pada hari itu di sekolah. Penting atau tidak penting bagiku dan Bintang yang terpenting adalah saling berbagi. Kami sudah berjanji akan hal itu. Percaya ataupun tidak, Bintang yang mengatakan itu padaku.
“Rindu, kamu tuh bisa cerita apa aja kok sama aku. Yakin deh. Segalanya. Gak mungkin Bintang gak dengerin Rindu. Mau Rindu teh cerita yang gak penting, cerita yang penting, cerita yang konyol, yang penting Rindu bisa berbagi sama Bintang. Bintang bersedia kok jadi pendengar yang baik buat Rindu. Kita itu saudara, Rin. Harus saling berbagi, dong! Bintang juga akan begitu. Janji?”
Huh, dewasa sekali bukan? Nyaris saja aku menitikkan air mata. Kata-kata Bintang pada saat itu terlintas di pikiranku begitu saja. Aku rindu suara lugunya. Bagaimana itu bisa terjadi? Aku berusia lebih tua daripada dia, tetapi mengapa bisa dia sebegitu tuanya? Lucu memang. Tidak bisa aku pungkiri Bintang adalah seorang anak jenius. Otaknya benar-benar brilian. Menurutku, IQ-nya terlalu tinggi untuk anak seumuran dia. Bagaimana mungkin dia bisa menyabet juara pertama di segala bidang olimpiade akdemik, terkecuali IPS? Bintang memang membenci pelajaran IPS, sama sepertiku. Menurut kami, menghapal dan memahami semua materi IPS bagaikan neraka. Setahuku, di kalangannya, Bintang mendapatkan julukan Esiklopedia Berjalan, dia yang menceritakan hal itu padaku. Aku akui dia memang kutu buku sejati yang pernah aku temui. Entah sudah berapa ratusan, bahkan mungkin ribuan buku yang telah ia lahap. Tiada hari baginya tanpa membaca buku. Setidaknya paling sedikit 3 buku yang bisa ia lahap setiap harinya. Aku selalu heran bagaimana mungkin ia selalu bisa menjalani hidupnya seperti itu tanpa bosan? Sampai saat ini pun aku masih belum mendapatkan jawabannya. Aku sangat suka berlama-lama di kamarnya, melakukan hal apa pun yang bisa aku lakukan. Aku tidak tahu sebaiknya aku menyebut ruangan itu kamar tidur atau peprusatakaan. Kalau kau masuk ke dalamnya, ke mana pun kau pergi pasti kau akan selalu menemukan buku, buku, dan selalu buku. Seluruh penjuru di kamar itu adalah sarang buku.
            Jika aku sedang merasa jenuh atau bosan, entah bagaimana Bintang selalu mengetahuinya, itu sudah pasti. Tiba-tiba saja ia datang menghampiriku dengan senyum yang menenangkan dan....mempesona. Aku sangat menyukai senyumannya. Terlihat tulus, meski menurutku tatapannya memang sedikit dingin. Setelah itu, hal yang biasa ia lakukan adalah menyapaku dan bertanya apa-yang-telah-terjadi padaku. Melihat senyumannya yang menenangkan dan mendengar pertanyaannya yang terdengar tulus, rasanya aku memang tidak bisa merahasiakan sesuatu darinya. Memalukan. Lagi-lagi terdengar memalukan, bukan? Aku lebih tua darinya, namun kenyataannya justru aku lah yang selalu mendapat omelan dan nasihat-nasihat apa pun darinya. Selama ini aku belum pernah melihat Bintang murung apalagi menangis. Mungkin saja ia pernah, dan pastinya pernah, hanya saja aku tidak tahu, tapi ku rasa kalau pun dia pernah melakukannya, hal itu adalah hal yang amat-sangat jarang dia lakukan, nyaris tidak pernah mungkin.
"Gimana sih, pagi-pagi udah murung? Heeei, pagi ini indah dan hari ini pasti juga akan indah, Rin. Gak usah lah kamu pake acara murung kayak gitu."
"Kalau ada teman kamu yang ngejekin kamu di sekolah, ya diemin aja, gak usah diladenin. Nanti pasti juga capek sendiri. Lagian kejahatan gak boleh dibalas kejahatan juga, kan?"
"Kamu kurang bersyukur, Rin. Coba deh, nikmat Allah yang mana lagi yang masih kamu raguin? Masih banyak orang-orang yang bahkan gak seberuntung kamu.”
“Kok nangis sih, Rin? Sedih? Nangis aja kalau itu bisa bikin kamu sedikit lega, tapi aku punya satu cara nih. Kalau kamu mau nangis, lebih enak kalau lagi hujan. Kamu bisa nangis sambil hujan-hujanan, dengan begitu gak akan ada yang tahu kalau kamu lagi nangis, lagi sedih.”
“Mimpi harus digantungin setinggi langit. Aku suka melihat bintang-bintang itu, Rin. Rasanya seperti mendapatkan tanda bahwa aku punya berjuta-juta kesempatan untuk dapat meraih mimpiku di atas sana.”
“Kamu kalah lagi, RIn! Hahahaha. Makanya, kalau punya uang banyak ditabung, dong! Kalau tabungannya banyak, kita pasti bisa main di Timezone sepuasnya!”
Tidak. Tidak. Aku tidak kuat. Tepat saat ini, akhirnya aku menitikkan air mata. Semua itu terlintas kembali di pikiranku begitu saja. Aku sangat merindukan semua kata-kata bijaknya, yang entah mengapa masuk akal ataupun tidak pasti selalu mampu memperbaiki keadaan. Aku rindu senyum dan tawa kemenangan Bintang, senyum terbaik seorang anak laki-laki yang pernah aku lihat. Aku rindu tawanya yang lebih terdengar seperti orang cegukan, unik. Apakah saat ini dia masih seperti itu jika sedang tertawa? Aku rindu sorot matanya jika menatapku. Aku merindukan kehadirannya saat aku sedang butuh seseorang seperti dia. Aku merindukan cara dia untuk meghiburku.  Aku rindu Bintang. Sungguh, aku memang Rindu. Semua kenangan itu...benar-benar menyiksaku. Aku kembali mengingat semua itu, merindukannya, berharap dapat mengulang semua itu kembali, sementara aku tahu pasti semua itu hanya harapan yang tidak akan pernah terwujud.
            Ku usap air mataku dan meneguk teh ku kembali. Kau tahu bukan merindukan sesorang itu merupakan penyiksaan? Kalau kau pernah merindukan seseorang aku yakin kau pasti mengetahuinya.
Aisyah Shafa: Satu senyum bisa menyembunyikan berjuta-juta kesedihan.
Senyum palsu? Aku pernah melihatnya. Semua berawal dari senyum palsu itu. Semua berubah sejak malam itu. Saat itu, ketika aku menghampiri Bintang di kamarnya, raut mukanya tidak terlihat seperti biasanya meski seperti biasa ia langsung tersenyum padaku saat aku memasuki kamarnya. Aku tahu ada yang tidak beres darinya. Aku tahu dia tidak sedang baik-baik saja meskipun sedang menikmati buku yang ia baca. Aku tidak berani menanyakan apa-yang-terjadi-padanya seperti halnya yang ia lakukan, maka seperti biasa aku hanya berbaring di ranjangnya sambil menatap langit-langit kamar. Menjelang tengah malam Bintang belum juga beranjak dari tempat ia membaca. Aku memutuskan untuk keluar dari kamarnya, meninggalkan ia sendirian, mungkin ia butuh ketenangan. Dia sedang sedih, juga sedang memikirkan sesuatu. Entah apa, aku tidak mengetahuinya. Tak lama setelah itu akhirnya aku bisa mengira-ngira apa penyebabnya. Saat aku berjalan dari kamar Bintang untuk menuju ke kamarku, aku mendengar suara, suara yang tidak asing tentu saja. Tidak ada niat untuk mencari sumber suara, tetapi yang aku tahu suara itu berasal dari kamar di sebelah kamar Teh Keke, kamar utama. Bentakan. Tangisan. Saat itu juga aku mengetahui bahwa mereka sedang bertengkar. Aku tidak ingin ketahuan kalau aku masih terjaga, karena aku tidak ingin dikira ikut campur masalah orang dewasa. Saat itulah malam pertama aku kehilangan senyum tulus Bintang, karena setelah itu ia berterus-terus menyembunyikan kesedihannya dengan senyuman palsunya. Aku benci itu.
            Bagaimana kami berpisah itu merupakan sebuah misteri bagiku. Saat aku.. kira-kira berusia sekitar 8 tahun, bunda mengajakku pindah dari Bandung dan kembali ke Jakarta. Saat itu bunda memberitahuku ayah tidak akan sering pindah tugas dan pekerjaannya akan menetap di Jakarta. Aku yang masih anak bawang hanya bisa menurut. Entah aku berpikir apa pada saat itu, yang jelas aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana aku dan Bintang nantinya. Bagiku Bintang sudah berubah, aku pun berat menyebut dirinya yang saat itu sebagai soulmate-ku. Aku hanya berpikir hubunganku dengan Bintang pasti akan berjalan sebagaimana mestinya saudara sepupu, seperti biasanya, maka aku mengiyakan tawaran bunda. Setelah bunda selesai mengurus seluruh urusan sekolah, aku meninggalkan Bandung, keluarga Bintang, dan juga Bintang. Hal yang aku tahu setelah itu adalah keluarga Bintang bermasalah, tapi saat itu aku masih seorang anak kecil yang memang tidak mengerti apa-apa. Aku hanya mengira masalah itu akan selesai dalam waktu singkat.
TeenQuotes: Relationships are like glass. Sometimes it better to leave them broken than try to hurt yourself putting it back together #teenquotes
Strike! Quote itu benar. Aku salah besar. Hal yang aku ketahui selanjutnya adalah, orang tua Bintang bercerai. Saat aku mengetahui berita itu, aku masih juga belum mengerti apa-apa. Aku pikir semua berjalan baik-baik saja sebagaimana mestinya. Bodoh. Sampai akhirnya aku mengetahui kabar bahwa Bintang, Teh Keke dan Uwa’ Ibu pindah ke Cirebon. Barulah saat itu aku berpikir bahwa semua tidak berjalan sebagaimana mestinya.
            Sampai saat ini, aku benar-benar tidak pernah berhubungan lagi dengan Bintang. Dia hilang begitu saja, hilang bagaikan ditelan bumi. Dia menghilang tanpa mengucapkan kata perpisahan. Siapa yang sangka kedekatan kita dulu akan berakhir seperti ini? Aku tahu Bintang menyembunyikan banyak hal dariku, terutama kesedihannya, selalu. Sampai saat ini aku berharap dia akan berbagi kesedihan padaku, seperti janji kami pada saat kami kecil. Ataukah aku hanya berharap terlalu lebih? Mungkin saja ia bahkan telah melupakan janji itu.
            Teh hangatku telah habis, seperti harapanku untuk dapat bertemu kembali dengan Bintang. Berusaha? Tentu saja aku telah mencoba dan berusaha untuk dapat mengetahui kabarnya dan menemuinya. Seperti halnya kira-kira satu tahun yang lalu. Keluargaku, keluarga Tante Ria serta keluarga Om Hamid mengunjungi Bandung untuk berlibur. Niat untuk mengunjungi keluarga Bintang di Cirebon sama sekali tidak terpikirkan sampai akhirnya Om Hamid menawarkan kami. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaanku saat itu, yang aku ingat hanyalah aku merasa sedikit takut. Bagaimana tidak? Dapat dipastikan jika bertemu dengan Bintang kami pasti merasa canggung, tidak akan ada lagi teriakan namaku dari mulutnya apa lagi pelukan darinya secara tiba-tiba. Perasaan rindu itu tidak terkalahkan, akhirnya kami menuju Cirebon untuk menemui Bintang. Tentu saja harapanku hanya satu, bertemu kembali dengan Bintang, dan aku menggantungkan harapan itu setinggi mungkin.
            Aku terjatuh, sakit sekali. Sangat. Bagaimana tidak? Harapan yang aku gantungkan tidak tercapai. Rasanya seperti dilambungkan ke atas langit namun dijatuhkan kembali ke bumi. Bintang dan Teh Keke sedang pergi ketika kami berkunjung ke sana. Begitu pula Uwa’ Ibu. Hanya ada pembantu rumah tangga mereka yang berada di rumah. Menyedihkan memang. Menunggu adalah hal yang paling aku benci, tapi aku melakukannya. Yah..aku menunggu, kami tepatnya, kami menunggu mereka kembali selama beberapa saat. Ketika aku berjalan mengelilingi rumahnya, aku menemukan buku telepon dan aku menemukan nomor ponsel Bintang di sana. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, langsung saja aku mencoba menghubungi Bintang dan....tersambung.
“Halo.”
Diangkat! Bahagia rasanya. Terdengar berlebihan memang, tapi itulah yang aku rasakan. Saat itu aku tidak langsung menjawab sapaannya. Aku sempat terheran-heran, siapa sebenarnya yang ada di seberang sana? Suaranya begitu berbeda? Tidak terdengar seperti suara Bintang. Aku tidak percaya. Suaranya terdengar sangat berbeda, tegas dan berat. Astaga, sudah berapa lama aku tidak pernah mendengarkan suara Bintang? Perasaanku campur aduk pada saat itu, benar-benar tidak bisa dijelaskan, dan aku memang tidak bisa berkata apa-apa.
“Halo.” Orang yang terdengar asing di seberang sana mengulang sapaannya, mungkin karena aku tidak menjawab.
“Halo. Bintang?” refleks aku segara menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.
-tut-tut-tut-
Kau tahu apa yang terjadi setelah itu? Hal yang terjadi setelah itu adalah sambungan teleponnya terputus. Ups, terputus? Diputus tepatnya. Bintang menutup teleponnya setelah mendengar aku berbicara. Aku bisa memastikan suaraku saat itu tidak berubah. Aku bisa memastikan Bintang tahu bahwa aku yang menjadi lawan bebricaranya. Bagaimana mungkin ia bisa menutup teleponnya? Sampai saat ini itu merupakan misteri. Yang aku ingat perasaanku saat itu kosong, dadaku sesak. Rasanya kosong, mengetahui Bintang menutup teleponnya setelah aku berbicara. Menyakitkan mengetahui bahwa ia memang tidak ingin berbicara denganku lagi. Penantian kami sia-sia, mereka tidak juga pulang dan kami memutuskan untuk kembali ke Bandung. Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang mengetahui bahwa aku menangis. Sakit.
nailarhm: The most painful goodbyes are the ones never said, but heart already know it’s over.
            Aku menghela nafas panjang. Matahari sudah mulai tenggelam. Aku mematikan laptopku dan kembali ke dalam rumah. Besok Bintang berulang tahun, yang aku tidak tahu ke berapa. Menceritakan semua hal tentang aku dan Bintang tidak akan ada habisnya. Aku yakin akan hal itu. Aku kapok berusaha menghubunginya. Aku lelah menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak sesuai dengan yang aku inginkan. Mengingat tawaran Tante Ria, aku memang akan menyampaikannya pada bunda, tetapi tidak untuk menerima tawarannya. Aku lelah. Sudah cukup banyak yang membuatku merasa lelah dan aku tidak ingin pikiran tentang Bintang menambah itu semua. Kenangan yang...nano-nano. Aaaah..semua itu benar-benar tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Aku merindukan Bintang. Amat-sangat merindukannya. Perpisahan yang misterius bukan? Perpisahan yang tidak disadari oleh aku maupun dia. Tanpa sengaja tiba-tiba saja terbangun tembok yang tebal, kokoh, tinggi dan akan bertambah seiring berjalannya waktu yang hadir di antara kita. Sulit untuk ditembus. Sangat. Aku sadar akan hal itu. Aku merindukan kenangan yang aku dan Bintang miliki, tetapi aku disadarkan oleh kenyataan yang benar-benar jauh dari harapan. Aku tidak akan pernah melupakan Bintang, tidak akan. Tidak peduli apakah ia masih mengingatku atapun tidak, yang terpenting adalah aku akan selalu mengingatnya, Bintang akan tetap menjadi bintang yang bersinar di sini, di dalam diri Rindu meski dalam rindu yang tidak akan ada habisnya.
viatumblr: Even when you’ll forget, I’ll always remember. I’ll be the keeper of our memories. #viatumblr
----------------

No comments:

Post a Comment